Senin, Desember 9, 2024
DKI JakartaNasionalPeristiwa

Penyandang Disabilitas Sulit Dapat Pekerjaan Layak, Negara Diminta Bertindak

Jakarta, Lensa Expose.com

20 November 2024 – Aliansi untuk Hak Kerja Layak mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam memastikan penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak.

Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur hak-hak mereka, dalam praktiknya masih banyak kendala yang dihadapi.

Hasil riset Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi stigma negatif dari masyarakat dan perusahaan. Selain itu, persyaratan kerja yang tidak inklusif juga menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan.

“Penyandang disabilitas sering dianggap tidak mampu atau tidak produktif,” ujar Kokom Komalawati kepada media, Rabu, 20 Nopember 2024

Dikatakan Kokom, padahal mereka memiliki potensi yang sama dengan orang lain jika diberikan kesempatan dan dukungan yang memadai, ujarnya.

Lebih lanjut Kokom mengatakan sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa banyak perusahaan masih memasang syarat-syarat kerja yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang yang menjamin hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan, terangnya.

Kusuma Dewi dari PPEE FSPMI menyatakan, semestinya dalam mekanisme rekrutmen tidak boleh mengiklankan syarat-syarat kerja yang mendiskriminasikan pelamar kerja.
Selain diskriminasi dalam rekrutmen, penyandang disabilitas juga seringkali tidak mendapatkan akomodasi yang layak di tempat kerja, ujarnya.

Anggota HWDI mengungkapkan, “Memang ada Penyandang Disabilitas yang dipekerjakan di perusahaan swasta maupun pemerintahan, tapi keberadaanya sekadar menunaikan kewajiban. Buruh tidak mendapatkan akomodasi yang layak untuk mendapatkan pekerjaannya.

“Contoh kasus diskriminasi juga ditemukan pada penyandang disabilitas netra yang lulus seleksi kerja di BUMN namun kemudian dipindahkan ke anak perusahaan tanpa alasan yang jelas,” tuturnya.

Selain itu, penyandang disabilitas mental juga seringkali kesulitan mendapatkan akses untuk sertifikasi keahlian karena tidak adanya pengakuan atas kebutuhan khusus mereka.

Formalisasi Pekerjaan Masih Jadi Tantangan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa dari 22,97 juta penyandang disabilitas di Indonesia, hanya sebagian kecil yang bekerja di sektor formal. Mayoritas penyandang disabilitas masih bekerja di sektor informal. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk mengintegrasikan penyandang disabilitas ke dalam dunia kerja formal masih belum optimal.

Penyandang disabilitas di Indonesia tidak hanya menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, namun juga kerap berhadapan dengan kondisi kerja yang buruk. Hal ini semakin memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi yang mereka alami.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 17,55% penyandang disabilitas bekerja di sektor informal.

Kondisi ini jauh dari ideal, karena sektor informal sering kali tidak memiliki jaminan sosial atau upah layak. Selain itu, data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan jumlah kasus penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja dari tahun ke tahun.

Kondisi Kerja yang Buruk

Salah satu masalah serius yang dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah tingginya angka kecelakaan kerja. Kondisi kerja yang tidak sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan kerja seringkali menjadi penyebab utama. Padahal, kecelakaan kerja dapat menyebabkan cacat permanen yang semakin memperberat kondisi mereka.

Ajat Sudrajat dari LION mengungkapkan bahwa banyak kasus kecelakaan kerja tidak dilaporkan oleh perusahaan. Akibatnya, biaya perawatan kesehatan ditanggung sendiri oleh pekerja. Selain itu, program pemerintah seperti Return to Work yang bertujuan membantu pekerja kembali bekerja setelah mengalami kecelakaan kerja juga dinilai tidak efektif.

Diskriminasi dan Pemutusan Hubungan Kerja

Penyandang disabilitas yang mengalami kecelakaan kerja seringkali dihadapkan dengan pasal sakit berkepanjangan (long illness). Hal ini berarti mereka akan terus menerima upah yang lebih rendah selama jangka waktu lama, bahkan dapat terkena PHK.

Anggie Ero dari FSBN KASBI menegaskan bahwa peraturan yang menyebut kecelakaan kerja sebagai long illness merupakan lepasnya tanggung jawab negara. Perusahaan justru seenaknya memutus kontrak kerja dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, seperti dengan alasan putus kontrak atau alasan perusahaan mengalami kerugian.

Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UUPD) telah disahkan, nyatanya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih menjadi tantangan yang berat di dunia kerja Indonesia.

Berbagai hambatan struktural, seperti kurangnya kuota pekerja, serta kebijakan yang diskriminatif, membuat penyandang disabilitas kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak dan setara.

Penelitian menunjukkan bahwa realisasi kuota penyandang disabilitas di berbagai daerah masih jauh dari target. Di Kota Tangerang misalnya, dari tujuh perusahaan besar yang mempekerjakan ribuan buruh hanya 144 penyandang disabilitas yang dipekerjakan.

Sementara itu, di Yogyakarta dan Semarang, pelaksanaan kuota ini juga dianggap tidak optimal dengan alasan klasik: keterampilan penyandang disabilitas dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.

Paradigma Abelisme Menghambat Kesetaraan

Paradigma abolisme yang mengukur kemampuan individu berdasarkan standar “normalitas” fisik dan mental masih mengakar dalam dunia kerja.

Istilah seperti “cacat” yang kerap digunakan dalam regulasi resmi memperburuk persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Regulasi seperti Permenakertrans Nomor 25 Tahun 2008 bahkan memposisikan kecelakaan kerja dan disabilitas sebagai kalkulasi kompensasi, bukan sebagai isu perlindungan atau pemberdayaan pekerja.

Beban Ganda Perempuan Penyandang Disabilitas

Perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi berlapis, baik sebagai perempuan maupun sebagai individu dengan kebutuhan khusus. Kisah NA, seorang penyandang disabilitas yang bekerja di Dinas Sosial DKI Jakarta, menggambarkan tantangan tersebut. Meskipun telah bekerja selama lima tahun sebagai verifier data, ia masih menghadapi lingkungan kerja yang tidak menyediakan akomodasi layak, seperti harus tanpa fasilitas pendukung yang layak untuk menaikkan tangga manual di lantai 5 setiap harinya.
Selain itu, perempuan penyandang disabilitas sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif yang lebih parah dibandingkan rekan mereka yang non-disabilitas.

Mereka cenderung dipekerjakan pada pekerjaan dengan upah rendah atau kontrak kerja fleksibel yang rentan pemutusan sepihak. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi kelompok pertama yang diberhentikan ketika perusahaan menghadapi tekanan ekonomi atau restrukturisasi.
Perlakuan diskriminatif lainnya dialami perempuan penyandang disabilitas yang sedang hamil. Alih-alih mendapatkan perlakuan khusus seperti pekerja hamil lainnya, mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak mendukung, seperti berdiri sepanjang hari tanpa kursi yang sesuai kebutuhan fisiknya.

Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh bersatu menyuarakan tuntutan terkait kondisi kerja yang lebih layak dan inklusif, khususnya bagi perempuan dan penyandang disabilitas.

Aliansi untuk Hak Kerja Layak, yang terdiri dari berbagai organisasi buruh dan penyandang disabilitas, mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam menciptakan dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Beberapa tuntutan utama yang mereka sampaikan antara lain:
Negara dan pengusaha harus memastikan dunia kerja yang inklusif dan ramah gender, dengan mendorong semua instansi dan perusahaan untuk tidak mencantumkan kualifikasi pekerjaan yang tidak ramah penyandang disabilitas.

Mendesak negara mencabut peraturan perundangan yang mengondisikan kecelakaan kerja yang menyebabkan disabilitas sebagai sakit berkepanjangan, yaitu Pasal 81 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan.

Mendesak agar Komisi Nasional Disabilitas (KND) berdiri independen bukan di bawah Kementerian Sosial, dan mengefektifkan ULD (Unit Layanan Disabilitas).

Selain itu, aliansi juga menyerukan serikat buruh, organisasi perempuan, dan penyandang disabilitas untuk menagih tanggung jawab negara agar menyediakan dunia kerja yang inklusif dan bebas dari kekerasan berbasis gender.

Aliansi juga mendukung perjuangan serikat buruh yang sedang menuntut kenaikan upah minimum.

Aliansi untuk Hak Kerja Layak adalah aliansi serikat buruh, organisasi penyandang disabilitas dan pemerhati perburuhan, yang terdiri dari FSBN KASBI, FSBKU KSM HWDI, PPEE FSPMI, LION, AFWA, SEHATI Sukoharjo, Perempuan Mahardika, JAL PRT, Kalyanamitra, FSBI, FSB, YAPESDI, ESPBI, P2RI, LIPS.

Reporter ; Marindra Noviawan

Loading