PN Depok Eksekusi Lahan 9,3 Hektare Berdasarkan Sertifikat yang Telah Dibatalkan
DEPOK, Lensaexpose.com – Pengadilan Negeri (PN) Depok kembali melaksanakan eksekusi constatering terhadap lahan seluas 9,3 hektare yang menjadi sengketa, meski sertifikat lahan tersebut telah dibatalkan. Eksekusi ini merupakan upaya keempat yang dilakukan PN Depok.
PN Depok mengajukan surat permohonan bantuan pengamanan kepada sejumlah pihak, termasuk Walikota Depok, Kepolisian Metropolitan Kota Depok, Kepolisian Sektor Sawangan, dan Kepala Kantor Kelurahan Kedaung. Surat tersebut tercatat dengan nomor 346/pan.PN.WII.u21/HK.02/XI/2024. Eksekusi ini juga didukung oleh penetapan Ketua PN Depok, tertanggal 25 September 2024, dengan nomor perkara 22/Pdt.Eks/Constatering/2024/PN.Dpk jo nomor 284/Pdt.G/2017/PN Dpk jo nomor 231/PDT/2019/PT.Bdg jo nomor 2596/K/PDT/2020 jo nomor 325 PK/PDT/2022 jo nomor 107 PK/PDT/2024.
Eksekusi dan proses pencocokan (constatering) rencananya akan dilakukan pada 7 November 2024 di lokasi lahan yang bersangkutan.
Ida Farida, perwakilan PT Bumi Kedaung Lestari (BKL) selaku pemilik sah lahan tersebut, mengajukan keberatan kepada Ketua PN Depok atas rencana eksekusi tersebut. Menurutnya, berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) nomor 64.2010/PTUN-BD dan sejumlah penetapan lainnya, lahan tersebut sudah sah milik PT BKL, diperkuat oleh izin lokasi dari Walikota Depok melalui Keputusan Nomor 591/237/Kpts/Pem.Otda/Huk/2008.
Dalam pernyataannya kepada media, Ida menegaskan bahwa PN Depok seharusnya menghormati putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Ia juga mengungkapkan bahwa seharusnya PT Haikal Abadi Perkasa (HAP) yang memiliki kewajiban membayar ganti rugi kepadanya, bukan sebaliknya. Ida pun mempertanyakan tindakan PN Depok yang dinilainya terkesan membangkitkan kembali sertifikat yang telah dibatalkan melalui perkara nomor 64-255 di tingkat kasasi.
Ida juga menyoroti status kepemilikan 127 sertifikat yang terkait dengan lahan tersebut. “Sertifikat itu harusnya memiliki Akta Jual Beli (AJB) atas nama PT Haikal Abadi Perkasa dan terdaftar secara resmi. PBB memang bukan satu-satunya bukti kepemilikan, namun ini satu paket dengan kewajiban pembayaran yang harus dipenuhi,” ujarnya.
Ida mempertanyakan validitas sertifikat tahun 1970 yang dijadikan dasar eksekusi oleh PN Depok, mengingat sertifikat tersebut telah dinyatakan batal. Ia juga menyoroti kejanggalan adanya dua putusan eksekusi yang berbeda untuk satu bidang lahan.
“Saya adalah pemilik sah lahan tersebut berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Bumi Kedaung Lestari (BKL), dengan bukti pelunasan PBB, izin lokasi, dan penetapan eksekusi yang hingga kini belum dilaksanakan. Namun, mengapa ada eksekusi lain di lahan yang sama, dan mengapa saya tidak menerima surat pemberitahuan eksekusi constatering ini?” ungkap Ida dengan nada tegas.
Ida meminta keadilan kepada pemerintah agar segera menindak tegas oknum-oknum yang dinilainya mempermainkan hukum demi kepentingan pribadi, yang berpotensi merugikan pihak yang lebih lemah dalam sengketa ini. (Ag)