Lemahnya Penerapan Hukum dalam Vonis Kasus Korupsi APBD Covid-19 Oleh : Muhammad Irfan Lubis, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang
Tangerang Selatan | Lensa Expose.com
Kasus korupsi anggaran penanganan Covid-19 senilai Rp 319 miliar dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat. Kasus ini menjadi sangat sensitif karena dana tersebut seharusnya digunakan untuk menyelamatkan nyawa dan mendukung pemulihan ekonomi masyarakat selama masa krisis. Namun, vonis pengadilan yang menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta terhadap terdakwa mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan pada Kementerian Kesehatan, Budi Sylvana justru menuai polemik dan kritik dari berbagai pihak, nomor perkara 15/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst register tanggal 16 Januari 2025.
Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Hasbiallah Ilyas menilai Komisi Yudisial harus memeriksa majelis hakim yang memvonis rendah terdakwa kasus korupsi APD (alat pelindung diri) Covid-19, Budi Sylvana. Budi hanya mendapat vonis tiga tahun penjara meski terbukti bersalah.
Hasbiallah menilai, korupsi pengadaan APD yang dilakukan saat pandemi Covid-19 itu tidak hanya merugikan keuangan negara. Tapi, juga berdampak kepada nyawa manusia. “Itu harus dihukum dengan seberat-beratnya,” kata Hasbiallah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Sabtu, 7 Juni 2025. “Kalau hanya seperti itu, hakimnya kudu diperiksa.” dimuat di tempo.co.
Mantan Penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap mengaku heran tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI divonis lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK. Yudi menilai hukuman ringan tidak menimbulkan efek jera.
“Heran mengapa koruptor semakin ringan hukumannya, terbaru adalah korupsi APD COVID. Ini tidak akan menimbulkan efek jera,” kata Yudi kepada wartawan, Sabtu (7/6/2025). dimuat news.detik.com.
Dalam pemberitaan tersebut, saya akan mengkaji pandangan hukum dan penerapan hukum terhadap kasus tersebut berdasarkan Undang-Undang Tipikor dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pandangan Hukum : Dasar Hukum Pemberantasan Korupsi
Dalam sistem hukum Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang gratifikasi. Gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, termasuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Sanksi Gratifikasi pada Pasal 16 juga mengatur sanksi pidana bagi pelanggar, yang bisa berupa penjara seumur hidup atau penjara 4 hingga 20 tahun, serta denda mulai dari Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar
Analisis Penerapan Hukum: Vonis yang Tidak Proporsional
Vonis 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta untuk kasus korupsi Rp319 miliar dapat dikatakan tidak mencerminkan rasa keadilan, baik dari sisi kerugian negara, dampak sosial, maupun amanat undang-undang.
Dalam konteks hukum, Vonis di bawah minimal ancaman pidana (Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor menyebut minimal 4 tahun) mengindikasikan adanya pertimbangan yang tidak lazim atau penyimpangan dari penerapan hukum positif.
Denda Rp100 juta tidak sebanding dengan nilai kerugian negara. Bandingkan dengan nilai korupsi Rp319 miliar, maka denda tersebut hanya setara 0,03% dari kerugian negara.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) juga dapat menjadi dasar hukum pelengkap dalam kasus pidana korupsi, terutama mengenai pemidanaan secara umum.
Dalam perspektif KUHP, penerapan sanksi pidana seharusnya mempertimbangkan prinsip ultimum remedium, namun dalam kasus korupsi, terutama di masa bencana nasional seperti pandemi, penerapan hukum pidana harus maksimal karena efeknya sangat besar dan berlapis.
Aspek Moral dan Filosofis : Melanggar Etika Sosial dan Kemanusiaan
Korupsi dana Covid-19 tidak hanya merupakan pelanggaran hukum formal, tetapi juga pelanggaran moral dan etika kemanusiaan. Saat rakyat berjuang melawan pandemi, oknum pejabat publik justru menyalahgunakan kewenangan. Maka dari itu, sanksi hukum seharusnya menjadi alat untuk memberikan efek jera dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Saran dan Pendapat
Putusan yang menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi APBD Covid-19 adalah bentuk pelemahan supremasi hukum dan pengabaian terhadap prinsip keadilan. Sebagai negara hukum, Indonesia semestinya menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk menegakkan keadilan secara tegas, tidak hanya berdasarkan teks hukum, tetapi juga atas dasar kepatutan, keadilan sosial, dan tanggung jawab moral.
Saya menyarankan agar Otoritas pengawasan seperti KPK, KY dan MA melakukan evaluasi terhadap putusan-putusan ringan hakim dalam kasus korupsi besar.
Reformasi peradilan pidana korupsi diperkuat, termasuk integritas hakim dan transparansi proses sidang.
Penerapan sanksi tambahan, seperti pengembalian kerugian negara dan pencabutan hak politik, diberlakukan sebagai standar dalam kasus korupsi besar. (Red)