Lindungi Masyarakat Adat, Ferdiansyah dan Kemendikbud Gelar Dialog “Budaya Kampung Adat Pulo Situ Cangkuang”
Garut, Lensa Expose.com
Anggota DPR RI Komisi X, Ferdiansyah, membuka dialog “Budaya Kampung Adat Pulo Situ Cangkuang”, bersama Kemendikbud, di Ballroom Hotel Harmoni, Kabupaten Garut, Senin (19/10/2020).
Hadir dalam kesempatan tersebut perwakilan Kemendikbud yaitu Direktorat Kebudayaan dan Direktorat Masyarakat Adat dan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Ferdiansyah menjelaskan, definisi masyarakat adat adalah masyarakat yang relatif tidak terkontaminasi oleh pengaruh negatif modernisasi. Kemudian masyarakat yang berpikiran jernih tentang apa yang mereka alami, selain itu juga masyarakat yang berpikiran simpel untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Kaitan dengan itu, Ferdiansyah ingin agar keberlangsungan masyarakat adat ini terjaga. Sejauh mana menjaga nilai masyarakat adat di tanah air, khususnya Kabupaten Garut. Kemudian bagaimana hubungan menjaga ekosistem lingkungan dengan keberlangsungan masyarakat adat itu sendiri.
“Pertama saya menghaturkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Masyarakat Adat dan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam konteks, pertama menyamakan persepsi dulu tentang tertibnya arti budaya. Itu selalu kita fokusnya seperti itu,” ujar Ferdiansyah.
Yang kedua konteks masyarakat adat, kita ingin juga sebelum bicara yang lain-lain ingin mengeksistensikan, atau lebih eksisnya masyarakat adat. Tapi eksistensi itu tidak lepas dari akar budaya, tambahnya.
Oleh karena itu perlu dibuat diskusi bagaimana masyarakat adat ini eksis tapi tidak lepas atau keluar dari akar budaya. Terkait itu juga harus dibuka wawasan, makanya dalam konteks ini kita mengajak juga UPT Balai pelestarian nilai budaya dan mengajak juga Direktorat tentang Tenaga Kebudayaan.
“Kami menyadari masyarakat adat ini kalau tidak dibina juga akhirnya kita salah. Karena ada karakteristik dari masyarakat adat yang namanya kurang baik yaitu nomaden,” katanya.
Sifat yang nomaden atau tidak menetap ini lanjut Ferdiansyah, cukup membahayakan terhadap kelangsungan masyarakat adat, maupun ekosistem yang ada.
“Kalau nomadennya hanya sekedar untuk bertempat tinggal ya mungkin recovery-nya cepat, tapi ini nomadennya katakanlah sampai berpuluh-puluh, beratus-ratus keluarga, yang kita khawatirkan jangan sampai mengganggu ekosistem,” jelasnya.
Akhirnya juga sulit bagi kita untuk menapak bagaimana sih sejarah masyarakat adat itu sesungguhnya. Kalau tidak cepat itu juga menginventarisnya susah, tambahnya.
Kemudian lanjut Ferdiansyah, terkait dengan keberadaan Undang-undang tentang Kemajuan Kebudayaan, juga bisa digunakan menjaga eksistensi masyarakat adat. Misalnya seperti menjaga tradisi lisan, seperti menanam padi sambil bernyanyi, kemudian menyampaikan ilmu dengan bernyanyi dan lain sebagainya.
Selanjutnya, kaitan dengan ekosistem terhadap kelangsungan masyarakat adat, Ferdiansyah juga menilai penting untuk dilindungi. Bagaimana pengaruh lingkungan itu terhadap kelangsungan masyarakat adat.
“Mungkin kita tidak tahu ternyata di hutan itu terdapat tumbuhan atau makhluk hidup yang bermanfaat untuk pengobatan, kesehatan yang diperlukan,” ujarnya.
Seperti halnya di Kabupaten Garut, Ferdiansyah tidak berharap terjadi kembali bencana banjir bandang seperti sebelumnya. Maka dari itu dalam konteks menjaga ekosistem ini, menurutnya patut juga diinventarisir. Jangan sampai justru menggerus keberlangsungan masyarakat adat.
“Soal Garut ini kita juga mengiventarisir jangan sampai ada palid Cimanuki kahiji, kadua dugi katilu. Termauk yang di Cisompet. Artinya jangan sampai terjadi alih tanaman. yang tadinya tanaman keras yang bisa menahan laju air keras diganti dengan tanaman yang tidak bisa menahan laju air keras,” ujarnya.
Namun demikian, di sisi lain, diharapkan masyarakat pesisir hutan ini tetap mendapatkan kesempatan untuk dapat penghidupan. Agar masyarakat adat tetap bisa bertahan dengan lingkungan yang ada namun juga tidak merusak ekosistem yang ada.
Misalnya adalah dengan mengembangkan pola pertanian tumpangsari, yaitu menanam tanaman semusim di sela-sela tanaman keras. Agar di satu sisi, kebutuhan jangka pendek masyarakat terpenuhi namun mereka tidak perlu merusak hutan.
“Sehingga keberadaan masyarakat adat eksistensinya bisa jgua terpelihara yang mungkin membantu untuk kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Kaitan dengan hal tersebut, dari sisi hukum Ferdiansyah juga berusaha memproteksi agar masyarakat pesisir hutan ini tidak terjerat oleh hukum lantaran hanya memanfaatkan satu dua batang kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Jangan sampai konteks masyarakat adat ini pemenuhan kebutuhan sehari hari mislanya ngambil satu dua batang kayu kena pidana, karena di situ masuk kawasan hutan nasional atau konservasi alam. nah itu kita protek,” jelasnya.
Oleh karena itu yang terakhir ke depannya kita juga akan memfasilitasi sesuai kebutuhan masyarakat adat yang memungkinkan seperti memberikan (bantuan) lengkuas, cabe puyang, jahe, temulawak. Karena ini terkait pengetahuan tradisional buat jamu herbal. Kenapa tidak menutup kemungkinan siapa tahu masyarakat adat ini bisa kita kapitalisasi dalam arti positif, bisa menjadi suplayernya cap ayam jago, nyonya menir, sido muncul,” ujarnya.
Penulis : Rais/Dede Oren